Mata Kuliah: Administrasi Perpajakan
MATERI I
ARTI DAN KEDUDUKAN PAJAK
INDONESIA
Kath Nigtingale dalam bukunya “Taxation : Theory and
Practice” menyatakan bahwa pajak telah ada sejak awal kelahiran masyarakat, dan
dikatakan pula bahwa pajak merupakan bagian tidak terpisahkan dari harga yang harus
dibayar untuk hidup di tengah masyarakat yang terorganisir. Di Indonesia, dominasi pajak sebagai pos
penerimaan dalam negeri telah terlihat sejak awal berdirinya Republik ini.
Bersumber pada data APBN dari tahun ke tahun yang secara rutin dipublikasikan
oleh Departemen Keuangan, diperoleh informasi sejak Repelita I (kurun waktu
1969-1974) penerimaan dari sektor perpajakan telah memberikan sokongan yang
cukup signifikan, yaitu diatas 50% dari total penerimaan dalam negeri.
Dengan meningkatnya pemerimaan dari sektor perpajakan,
diharapkan pula pemerintah mampu meningkatkan pelayanan publik kepada
masyarakat tanpa menengadahkan tangan kepada negara lain. Tanpa disadari,
penjajahan baru (neokolonialisme) setelah Bangsa Indonesia merdeka sebenarnya
adalah tergantung kepada negara lain, dimana bangsa Indonesia sudah termasuk
dalam kelompok Negara-negara Miskin Pengutang Berat (Highly Indebted Poor
Countries, HIPS) seperti diungkapkan dalam “Wacana: Kejahatan Utang Luar Negeri
dan Reformasi Bank Dunia”.(Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No III Tahun 1999).
Banyak pakar berpendapat bahwa tidak ada
suatu bangsa yang secara ikhlas membantu bangsa lain. Motif dibalik hubungan
ekonomi internasional baik berupa utang luar negeri maupun investasi asing
adalah semata-mata dalam bentuk penyedotan surplus ekonomi. Beberapa tokoh yang
mengemukakan pendapat ini antara lain Prof. Rowena M. Lawson, Prof. Joan
Robinson, dan Prof. Hans Singer dari University of Hall England, 1997.
Dengan demikian, syarat mutlak menuju kemandirian suatu
bangsa adalah dengan meningkatkan peran aktif seluruh masyarakat melalui
pembayaran pajak.
A.
DEFINISI PAJAK
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang
"pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
1.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran
masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
2.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah
iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang
berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat
kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan
untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
3.
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel
M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor
swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan
individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan
jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan
jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang
timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu
kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut
harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum
ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang
sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai
pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983
sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
Lembaga
Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia
adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang
ada di bawah naungan Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
B.
TEORI PERPAJAKAN
Ada
beberapa teori perpajakan yang melatarbelakangi timbulnya hak negara memungut
pajak dan timbulnya kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak, yakni :
1. Teori Asuransi
Menurut teori ini negara berhak memungut pajak karena negara
bertugas untuk melindungi orang dan segala kepentingan, keselamatan, dan
keamanan jiwa serta harta bendanya. Pembayaran pajak disamakan dengan
pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi (pertanggungan), sehingga
untuk perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi.
Kelemahan teori asuransi ini adalah :
a. Negara tidak memberi ganti rugi jika Wajib Pajak menderita
kerugian jiwa atau harta benda.
b. Negara sebagai penerima pajak tidak memberikan
kontraprestasi secara langsung kepada wajib pajak, sesuai dengan pengertian
pajak itu sendiri.
2. Teori Kepentingan
Teori ini menekankan pada keadilan dan keabsahan pemungutan
pajak berdasarkan besar kecilnya kepentingan masyarakat dalam suatu negara.
Sehingga, lebih besar kepentingan yang dilindungi maka lebih besar pula pajak
yang harus dibayar. Teori ini kurang tepat karena:
a. Tidak ada standar atau pedoman baku yang dapat mengukur kepentingan
seseorang yang membayar pajak besar dengan yang membayar pajaknya kecil dan
orang yang tidak membayar pajak.
b. Ditinjau dari unsur utama dari definisi pajak yaitu bahwa
unsur pajak salah satunya adalah tidak ada kontraprestasi langsung atau imbalan
secara langsung kepada wajib pajak yang telah membayar pajak pada negara maka
adanya kontraprestasi langsung pada teori kepentingan ini seperti telah
dijelaskan diatas telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
3. Teori Daya Pikul
Menurut teori ini setiap orang wajib
membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing.
Daya pikul, menurut Prof. De Legen
adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa,
setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang
mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya. Untuk mengukur
daya pikul dapat digunakan 2 (dua) pendekatan yakni :
a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
b. Unsur subjektif, dengan memperhatikan kebutuhan materiil
yang harus dipenuhi.
Kritik yang diajukan terhadap teori ini
adalah bahwa teori ini sebenarnya bukan merupakan teori untuk memberikan
pembenaran atas pungutan pajak, melainkan merupakan dasar untuk memungut pajak
yang adil.
4. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasarkan pada
“orgaantheorie” dari Otto von Gierke, yang mengatakan bahwa negara itu
merupakan suatu kesatuan, yang didalamnya setiap warga negaranya terikat. Tanpa
ada “organ” atau lembaga itu individu tidak mungkin dapat hidup.
Dasar keadilan pemungutan pajak
terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang
berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai
suatu kewajiban.
5. Teori Asas Gaya Beli
Teori ini memandang fungsi pemungutan
pajak sebagai suatu cara memanfaatkan gaya beli dari masyarakat untuk
kepentingan negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas sosial, ekonomi,
pertahanan dan keamanan dengan maksud untuk memberikan rasa adil, aman, dan
sejahtera bagi masyarakat.
C.
UNSUR PAJAK
1.
Iuran dari Rakyat kepada Negara
Yang berhak
memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.
Berdasarkan undang-undang.
Sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
3.
Tidak mendapatkan jasa
timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara
langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraantor
akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak
kendaraan bermotor.
4.
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan
umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun
pembangunan.
D.
FUNGSI PAJAK
Pajak mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam
pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal
diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.
Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini
pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus
ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan
ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2.
Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur,
pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka
menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan
berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi
dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar
negeri.
3.
Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara
lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4.
Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan
untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
5.
Fungsi Demokrasi
Pajak yang sudah dipungut oleh negara merupakan wujud
sistem gotong-royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah
kepada masyarakat pembayar pajak.
E.
SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan
uatau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
1.
Pemungutan Pajak Harus Adil (Syarat
Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni
mencapai keadilan, Undang Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil
dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata,
serta disesusikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaan
yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan
Pajak.
2.
Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan
Undang Undang ( Syarat Yurudis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD
1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun
warganya.
3.
Tidak Mengganggu Perekonomian (Syarat
Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu
kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan
kelesuan perekonomian masyarakat
4.
Pemungutan Pajak Harus Efisien (Syarat
Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya
pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya.
5.
Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Syarat ini telah dipenuhi oleh undang undang perpajakan yang baru.
F.
ASAS PEMUNGUTAN
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara
sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya
untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh
negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1.
Asas domisili atau disebut
juga asas kependudukan (domicile/residence principle): berdasarkan asas
ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi
tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini,
tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal.
Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan
pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan)
dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara
itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income
concept).
2.
Asas sumber: Negara yang
menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan
dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang
bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini,
tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan
yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan
pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang
didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3.
Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship
principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.
Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang
akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem
pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara
menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
G.
Cara Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasakan 3 stelsel
(sistem):
1.
Stelsel nyata (riel stelsel)
Pemungutan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang
nyata), sehingga pemungutan yang baru baru dapat dilakukan pada akhir tahun
pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
memiliki kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalh
pajak yang dilkenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahanya pajak baru dapat
dikenakan pada akhir periode ( setelah penghasilan riil diketahui).
2.
Stelsel anggapan (fictive
stelsel)
Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu aggapan yang
diatur oleh suatu Undang Undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap
sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan
stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus
menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang diabayar
tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3.
Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara
stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Yakni pada awal tahun besarnya pajak
dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut
kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus
menambah. Sebaliknya jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih kecil daripada
pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak dapat minta kembali kelebihannya
(direstitusi) atau dikompensasi.
H.
Sistem Pemungutan Pajak
1. Official Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak terutang oleh Wajib Pajak. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya
pajak terutang ada pada fiskus.
b. Wajib Pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak
oleh fiskus.
2. Self Assessment System adalah
suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk
menentukan besarnya pajak terutang. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib pajak yang terutang,
b. Fiskus tidak ikut campur tetapi hanya mengawasi.
3. With Holding Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak) untuk menentukan besarnya pajak terutang.
Adapun ciri-ciri sistem ini adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiskus dan Wajib Pajak.
I. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya
utang pajak:
1.
Ajaran formil, yaitu utang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak
oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System.
2.
Ajaran Materiil, yaitu utang pajak timbul karena
berlakunya Undang Undang. Seseorang dikenai karena suatu keadaan atau suatu
perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System.
Sedangkan hapusnya utang pajak dapat
disebabkan oleh beberapa hal antara
lain:
(1)
Pembayaran (2) Kompensasi (3) Daluwarsa (5 tahun) (4) Pembebasan dan penghapusan.
J.
Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak
terdiri dari:
1. Hambatan pasif yaitu masyarakat enggan
(pasif) membayar pajak, hal ini disebabkan oleh:
a. Perkembangan intelektual dan moral
masyarakat
b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit
difahami masyarakat.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan
atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan aktif, yakni semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Perlawanan ini
terdiri dari dua cara/bentuk yaitu:
a. Tax Avoidance adalah usaha meringankan beban pajak
dengan tidak melanggar Undang Undang.
b. Tax Evasion adalah usaha meringankan beban pajak
dengan cara yang melanggar Undang Undang (menggelapkan pajak).
K.
Jenis Pungutan di Indonesia
1. Pajak Negara (Pajak Pusat)
Pajak Negara adalah pajak yang pemungutannya dilaksanakan
oleh pemerintah pusat. Pajak negara yang sampai saat ini masih berlaku adalah :
a. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar
hukum pengenaan pajak penghasilan adalah UU No. 7 Tahun 1984 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU no. 36 Tahun 2008.
b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPN & PPn BM)
Dasar
hukum pengenaan pajak adalah UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.
c. Bea Materai
Dasar
hukum pengenaan Bea Materai adalah UU No. 13 Tahun 1985.
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dasar
hukum pengenaan BPHTB adalah UU. No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 20 Tahun 2000.
2. Pajak Daerah
Adalah pungutan wajib atas orang
pribadi atau badan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa kontraprestasi
secara langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Salah satu pos penerimaan asli daerah
(PAD) dalam APBD adalah pajak daerah. Pemungutan pajak daerah oleh pemerintahan
daerah provinsi maupun kabupaten/kota diatur oleh UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ruang lingkup pajak daerah terbatas
pada objek pajak yang belum dikenakan pajak pusat. Pajak daerah dibagi menjadi
2 bagian, yaitu :
a. Pajak Provinsi, terdiri dari :
1) Pajak Kendaraan Bermotor
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4) Pajak Air Permukaan
5) Pajak Rokok
b. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari :
1) Pajak Hotel
2) Pajak Restoran
3) Pajak Hiburan
4) Pajak Reklame
5) Pajak Penerangan Jalan
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7) Pajak Parkir
8) Pajak Air Tanah
9) Pajak Sarang Burung Walet
10) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Khusus untuk daerah yang
setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah
kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis pajak yang
dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak
untuk daerah Kabupaten/kota.
3. Retribusi Daerah
Retribusi
menurut UU no. 28 tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan pribadi
atau badan.
Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak
Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai
yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak,
Retribusi yang dapat di sebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas
Pendapatan Daerah (Dispenda).
a. Objek Retribusi terdiri dari :
1) Jasa umum
2) Jasa usaha
3) Perizinan tertentu
Hasil penerimaan jenis retribusi tertentu Daerah Kabupaten
sebagian diperuntukkan kepada desa. Bagian desa ditetapkan lebih lanjut dengan
Peraturan Daerah Kabupaten dengan memperhatikan aspek keterlibatan Desa dalam
penyediaan layanan tersebut.
b. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi
1) Retribusi Jasa Umum, ditetapkan dengan memperhatikan biaya
penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan
efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Yang dimaksud dengan biaya
disini meliputi biaya operasi, dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
2) Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila
pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada
harga pasar.
3) Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan untuk
menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang
bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi penerbitan dokumen
izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak
negatif dari pemberian izin tersebut.
c. Tata Cara Pemungutan Retribusi
Retribusi
dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau
dokumen lain yyang dipersamakan berupa karcis, kupon, dan kartu langganan.
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau
kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% setiap bulan dari Retribusi terutang.
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana didahului denggan Surat Teguran. Tata
cara pelaksanaan pemungutan retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
d. Kadaluarsa Penagihan Retribusi
Hak
untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kadaluarsa setelah melampaui waktu
3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib
Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
4. Bea dan Cukai
a. Bea adalah pungutan yang dikenakan atas ssuatu kejadian atau perbuatan yang berupa lalu lintas barang
dan perbuatan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bea dapat
berupa :
1) Bea Masuk, yang dipungut atas barang-barang yang dimasukkan
ke dalam daerah pabean berdasarkan harga atau nilai barang tersebut ( tarif ad
valorum) atau berdasarkan tarif yang sudah ditentukan.
2) Bea Keluar, dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan
ke luar daerah pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi
masing-masing golongan barang.
3) Bea Balik Nama dikenakan atas perbuatan pemindahan hak
pemilikan atas harta.
b. Cukai, adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap
barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik yang ditetapkan
Undang-Undang, yaitu barangg-barang yang dalam pemakaiannya antara lain perlu
dibatasi dan diawasi
5. Penerimaan Negara bukan Pajak
Adalah
seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan. Kelompok penerimaan negara bukan pajak :
a. Penerimaan bersumber dari pengeluaran dana pemerintahn,
antara lain penerimaan jasa giro, sisa anggaran pembangunan dan sisa anggaran
rutin.
b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain
royalti di bidang perikanan, kehutanan dan pertambangan, tidak termasuk
penerimaan yang merupakan bagian pemerintah dari minyak dan gas bumi.
c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, antara lain deviden, bagian laba pemerintah, dana pembangunan
semesta dan hasil penjualan saham pemerintah.
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah antara lain pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan
pelatihan, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa, dan paspor,
serta pengelolaan kekayaan negara yang tidak dipisahkan.
e. Penerimaan berdasarkan keputusan pengadilan dan yang
bersalah dari pengenaan denda administrasi, antara lain lelang barang rampasan
negara dan denda.
f.
Penerimaan berupa hibah
yang merupakan hak pemerintah, adalah penerimaan negara berupa bantuan hibah
dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah
yang menjadi hak pemerintah.
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang
tersendiri.
L.
JENIS PAJAK
1. Pajak Negara
2. Pajak Daerah
Berdasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi:
1.
Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan secara
langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan.
2. Pajak tidak langsung adalah pajak/pungutan wajib yang
harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang secara tidak
langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya.
Berdasarkan
jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi:
1.
Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas
pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroan terbatas/unit lain.
2. Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada
waktu terjadinya penjualan barang/jasa yang dikenakan kepada pembeli.
3. Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada
badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya.
Pajak
berdasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi:
1.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak/pungutan
yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian
didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan daerah sendiri.
2.
Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba
perseroan/badan usaha lain yang modalnya/bagiannya terbagi atas saham–saham.
3.
Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi/pajak
gelap dan merupakan sumber korupsi.
4.
Pajak transit adalah pajak yang dipungut di tempat
tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang/barang dari suatu tempat ke
tempat lain
sumber : Lampiran Peraturan Dirjen Pajak No. 20/PJ/2013
MATERI 2
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self
assesment. Sistem self assesment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar.
Konsekuensi dari sistem self assesment, setiap wajib pajak yang
memiliki penghasilan wajib mendaftarkan diri sendiri ke kantor pelayanan pajak.
Undang Undang No. 6 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 9 Tahun 1994 dan Undang
Undang No. 16 Tahun 2000 serta yang terakhir sekarang Undang Undang No. 28
Tahun 2007 yang mulai diberlakukan 1 Januari 2009. Adapun beberapa pengertian
yang harus diketahui dalam bidang perpajakan meliputi:
1.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek
pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
peraturan perundang undangan perpajakan.
3.
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa adalah surat pemberitahuan
untuk suatu masa pajak.
4.
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan adalah surat
pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
5.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang telah
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6.
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang
meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Katetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
7.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, kredit pajak,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan
jumlah pajak yang masih harus dibayar.
8.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
9.
Surat Katetapan Pajak Nihil (SKPN) surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah pokok pajak sama dengan besarnya kredit pajak atau pajak
tidak terutang dn tidak ada kredit pajak.
10. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB) surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
11. Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat
untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda.
12. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan
adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak ditambah dengan pokok pajak
yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak kerena Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan tidak atau kurang bayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau
dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak yang
dikurangkan dari pajak yang teurtang.
13. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan
Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan
mengembalikan pendhuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak
yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
A.
Pendaftaran NPWP dan NPPKP
1.
Kewajiban Pendaftaran
Dalam KUP dinyatakan bahwa setiap Wajib
Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
katentuan peraturan perundang undang undangan perpajakan wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Persyaratan Subjektif adalah persyaratan yang sesuai
dengan ketentuan mengenai subjek dalam Undang Undang Pajak Penghasilan tahun
1984 dan perubahannya. Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek
pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan sesuai dengan
ketentuan Undang Undang Pajak Penghasilan tahun 1984.
Setiap wajib Pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan wajib mendaftarkan diri pada
Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Wajib Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan
sekaligus kepadanya diberikan NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat
usaha mulai dijalankan.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan
kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan dan sebagai tanda
pengenal diri bagi wajib pajak didalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
Adapun fungsi NPWP adalah:
a.
Sebagai tanda pengenal atau identitas Wajib Pajak dan
sebagai sarana administrasi perpajakan sehingga Wajib Pajak hanya diberi satu
NPWP.
b.
Sebagai sarana menjaga ketertiban dan pengawasan
administrasi perpajakan sehingga Wajib Pajak mencantumkan NPWP pada setiap
dokumen perpajakan.
NPWP terdiri dari 15 digit.
9 digit pertama merupakan kode wajib pajak dan 6 digit berikutnya merupakan
kode administrasi. Formatnya adalah sebagai berikut: XX. XXX. XXX. X-XXX.XXX.
2.
Cara Memperoleh NPWP
Dewasa
ini ada dua cara yang dapat ditempuh oleh wajib pajak jika ingin membuat atau
memperoleh NPWP. Yang pertama adalah wajib pajak datang langsung ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) terdekat dengan membawa berkas persyaratan yang dibutuhkan. Yang
kedua yakni pembuatan NPWP secara online.
Untuk mempermudah Wajib Pajak dalam membuat NPWP, Dirjen Pajak telah
memperkenalkan cara pendaftaran NPWP melalui internet atau juga dikenal sebagai
e-Registration (E-REG DJP) yang
dapat di akses melalu situs Dirjen Pajak di alamat www.pajak.go.id atau klik ereg.pajak.go.id/login untuk langsung mengakses halaman pendaftaran
NPWP online di situs Dirjen Pajak.
3.
Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP adalah tindakan
menghapuskan NPWP dari Tata Usaha Kantor Pelayanan Pajak. Direktorat Jenderal
Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan
penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk WP-OP atau 12 (dua
belas) bulan untuk WP-Badan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Dengan penghapusan NPWP ini bukan berarti
menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Penghapusan
NPWP ini dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pajak apabila:
a.
Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak
dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak lagi memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai ketentuan peraturan perundang
undangan perpajakan.
b.
Wajib Pajak Badan dilikuidasi karena penghentian atau
penggabungan usaha.
c.
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap menghentikan kegiatan
usahanya di Indonesia atau
d.
Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
menghapus NPWP dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
Gambar 1
Formulir Penghapusan NPWP
Formulir Penghapusan NPWP
4.
Pendaftaran NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak)
a.
Pengertian
1)
Pengusaha
adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean.
2)
Pengusaha
kena pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang di kenai pajakberdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
3)
Setiap
Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang di kenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahanya wajib melaporkn
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Usaha Kena Pajak
b.
Fungsi PPKP
1)
Sebagai
identitas PKP yang bersangkutan
2)
Melaksanakan
hak dan kewajiban di bidang pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
3)
Pengawasan
administrasi perpajakan
c.
Pendaftaran NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha
yang dikenai Pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984
dan perubahannya wajib melaporkan usahanya pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Wajib Pajak melakukan
pendaftaran (NPWP) sekaligus Pengukuhan,
maka surat keterangan terdaftar dan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
diterbitkan bersamaan paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah
permohonan pendaftaran dan pelaporan beserta persyaratannya diterima secara
lengkap.
d.
Pencabutan NPPKP
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Pencabutan NPPKP tersebut dapat dilakukan jika:
1)
Pengusaha Kena
Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain.
2)
PKP tidak
memenuhi syarat lagi sebagai PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran dan/atau
penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran
dan/atau penerimaan bruto untuk Pengusaha Kecil.
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap.
.
B. Surat Pemberitahuan (SPT)
1.
Pengertian SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak,
objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.
Fungsi SPT
Fungsi SPT adalah sebagai alat untuk melaporkan
pajak-pajak yang menjadi tanggungan Wajib Pajak baik yang sudah
dipotong/dipungut pihak lain maupun yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak. Adapun hal-hal yang tercantum dalan SPT antara lain:
a.
Jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
b.
Jumlah pembayaran/pelunasan yang dibayar sendiri maupun
melalui pihak lain (pemotong/pemungut)
c.
Jumlah pajak yang masih harus dibayar atas kekurangannya
dan/atau jumlah pajak yang lebih dibayar.
3.
Prosedur Penyelesaian SPT
a.
Wajib
Pajak sebagaimana mengambil sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh DJP.
b.
Setiap
Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas, dalam Bahasa
Indonesia.
c.
Bukti-bukti
yang harus dilampirkan pada SPT, antara lain :
1)
Untuk
Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan; laporan keuangan berupa neraca dan
laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
2)
Untuk
SPT-Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah
Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah
kekurangan atau kelebihan pajak
3)
Untuk
Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan: Perhitungan jumlah peredaran
yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
4.
Pembetulan SPT
a.
Apabila SPT yang sudah dilaporkan ke KPP masih
terdapat kekeliruan/ketidakbenaran maka SPT yang keliru (tidak benar) tersebut
dapat dibetulkan dengan syarat sebagaimana dinyatakan pada pasal 8 berikut:
1)
Menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
2)
Pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling
lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
3)
Pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang
dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
4)
Pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggalpembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1(satu) bulan.
5)
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi
belum dilakukan tindakan penyidikan terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
6)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan
pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam
laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a)
Pajak-pajak yang masih harus dibayar
menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b)
Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan
menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c)
Jumlah harta menjadi lebih besar atau
lebih kecil; atau
d)
Jumlah modal menjadi lebih besar atau
lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
7)
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar,
harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud
disampaikan.
8)
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan
yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak,
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak
sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang
telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan
tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan
pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
9)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar apabila:
a)
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b)
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka
waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c)
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata
tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya
dikenai tarif 0% (nol persen);
d)
kewajiban melakukan pembukuan atau pencatatan tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e)
kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
5.
Batas Waktu Penyampaian SPT
Dalam pasal 3 ayat (3) Undang Undang Nomor 28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa batas waktu
penyampaian SPT diatur sebagai berikut:
a.
SPT-Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak
b.
SPT-Tahunan PPh Wajib Pajak orang Pribadi paling lama 3
(tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak, atau
c.
SPT-Tahunan Wajib Pajak Badan paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak.
6.
Perpanjangan Jangka Waktu
Penyampaian SPT
a.
Wajib
Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana
dimaksud untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu peyampaian SPT
Tahunan dengan cara menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
b.
Pemberitahuan
Perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke kantor
Pelayanan Pajak, dengan dilampiri :
1)
Perhitungan
sementara pajak terutang dalam 1 (satu Tahun Pajak yang batas waktu
penyampaiannya diperpanjang.
2)
Laporan
keuangan sementara, dan
3)
Surat
Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
terutang.
C.
SANKSI PERPAJAKAN
Sanksi perpajakan merupakan
jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma
perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, atau dengan kata lain sanksi
perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar
norma perpajakan.
Dalam undang-undang perpajakan
dikenal dua macam sanksi, yaitu:
1.
Sanksi
Administrasi
Merupakan pembayaran kerugian kepada negara,
khususnya berupa bunga dan kenaikan.
2.
Sanksi
Pidana
Merupakan
siksaan atau penderitaan, suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan
fiskus agar norma perpajakan dipatuhi.