Minggu, 23 September 2018

Mata Kuliah: Administrasi Perpajakan


Mata Kuliah: Administrasi Perpajakan

MATERI I
ARTI DAN KEDUDUKAN PAJAK INDONESIA
Kath Nigtingale dalam bukunya “Taxation : Theory and Practice” menyatakan bahwa pajak telah ada sejak awal kelahiran masyarakat, dan dikatakan pula bahwa pajak merupakan bagian tidak terpisahkan dari harga yang harus dibayar untuk hidup di tengah masyarakat yang terorganisir.  Di Indonesia, dominasi pajak sebagai pos penerimaan dalam negeri telah terlihat sejak awal berdirinya Republik ini. Bersumber pada data APBN dari tahun ke tahun yang secara rutin dipublikasikan oleh Departemen Keuangan, diperoleh informasi sejak Repelita I (kurun waktu 1969-1974) penerimaan dari sektor perpajakan telah memberikan sokongan yang cukup signifikan, yaitu diatas 50% dari total penerimaan dalam negeri.
Dengan meningkatnya pemerimaan dari sektor perpajakan, diharapkan pula pemerintah mampu meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat tanpa menengadahkan tangan kepada negara lain. Tanpa disadari, penjajahan baru (neokolonialisme) setelah Bangsa Indonesia merdeka sebenarnya adalah tergantung kepada negara lain, dimana bangsa Indonesia sudah termasuk dalam kelompok Negara-negara Miskin Pengutang Berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPS) seperti diungkapkan dalam “Wacana: Kejahatan Utang Luar Negeri dan Reformasi Bank Dunia”.(Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No III Tahun 1999).  Banyak pakar berpendapat bahwa tidak ada suatu bangsa yang secara ikhlas membantu bangsa lain. Motif dibalik hubungan ekonomi internasional baik berupa utang luar negeri maupun investasi asing adalah semata-mata dalam bentuk penyedotan surplus ekonomi. Beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat ini antara lain Prof. Rowena M. Lawson, Prof. Joan Robinson, dan Prof. Hans Singer dari University of Hall England, 1997.
Dengan demikian, syarat mutlak menuju kemandirian suatu bangsa adalah dengan meningkatkan peran aktif seluruh masyarakat melalui pembayaran pajak.
A.     DEFINISI PAJAK
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
1.             Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
2.             Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
3.             Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
B.     TEORI PERPAJAKAN
Ada beberapa teori perpajakan yang melatarbelakangi timbulnya hak negara memungut pajak dan timbulnya kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak, yakni :
1.      Teori Asuransi
Menurut teori ini negara berhak memungut pajak karena negara bertugas untuk melindungi orang dan segala kepentingan, keselamatan, dan keamanan jiwa serta harta bendanya. Pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran premi, seperti halnya perjanjian asuransi (pertanggungan), sehingga untuk perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi.
Kelemahan teori asuransi ini adalah :
a.       Negara tidak memberi ganti rugi jika Wajib Pajak menderita kerugian jiwa atau harta benda.
b.      Negara sebagai penerima pajak tidak memberikan kontraprestasi secara langsung kepada wajib pajak, sesuai dengan pengertian pajak itu sendiri.
2.      Teori Kepentingan
Teori ini menekankan pada keadilan dan keabsahan pemungutan pajak berdasarkan besar kecilnya kepentingan masyarakat dalam suatu negara. Sehingga, lebih besar kepentingan yang dilindungi maka lebih besar pula pajak yang harus dibayar. Teori ini kurang tepat karena:
a.       Tidak ada standar atau pedoman baku yang dapat mengukur kepentingan seseorang yang membayar pajak besar dengan yang membayar pajaknya kecil dan orang yang tidak membayar pajak.
b.      Ditinjau dari unsur utama dari definisi pajak yaitu bahwa unsur pajak salah satunya adalah tidak ada kontraprestasi langsung atau imbalan secara langsung kepada wajib pajak yang telah membayar pajak pada negara maka adanya kontraprestasi langsung pada teori kepentingan ini seperti telah dijelaskan diatas telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
3.      Teori Daya Pikul
Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing.
Daya pikul, menurut Prof. De Legen adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 (dua) pendekatan yakni :
a.       Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
b.      Unsur subjektif, dengan memperhatikan kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
Kritik yang diajukan terhadap teori ini adalah bahwa teori ini sebenarnya bukan merupakan teori untuk memberikan pembenaran atas pungutan pajak, melainkan merupakan dasar untuk memungut pajak yang adil.
4.      Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasarkan pada “orgaantheorie” dari Otto von Gierke, yang mengatakan bahwa negara itu merupakan suatu kesatuan, yang didalamnya setiap warga negaranya terikat. Tanpa ada “organ” atau lembaga itu individu tidak mungkin dapat hidup.
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5.      Teori Asas Gaya Beli
Teori ini memandang fungsi pemungutan pajak sebagai suatu cara memanfaatkan gaya beli dari masyarakat untuk kepentingan negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan dengan maksud untuk memberikan rasa adil, aman, dan sejahtera bagi masyarakat.

C.      UNSUR PAJAK
1.      Iuran dari Rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.      Berdasarkan undang-undang.
Sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
3.      Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraantor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
4.      Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

D.     FUNGSI PAJAK
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.     Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2.     Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3.     Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4.     Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
5.     Fungsi Demokrasi
Pajak yang sudah dipungut oleh negara merupakan wujud sistem gotong-royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak.

E.      SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan uatau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.     Pemungutan Pajak Harus Adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesusikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaan yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2.     Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang Undang ( Syarat Yurudis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan   jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warganya.
3.     Tidak Mengganggu Perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat
4.     Pemungutan Pajak Harus Efisien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5.     Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang undang perpajakan yang baru.

F.      ASAS PEMUNGUTAN
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1.      Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
2.      Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3.      Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.

G.     Cara Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasakan 3 stelsel (sistem):
1.     Stelsel nyata (riel stelsel)
Pemungutan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan yang baru baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata memiliki kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalh pajak yang dilkenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahanya pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode ( setelah penghasilan riil diketahui).
2.     Stelsel anggapan  (fictive stelsel)
Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu aggapan yang diatur oleh suatu Undang Undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang diabayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3.     Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Yakni pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak dapat minta kembali kelebihannya (direstitusi) atau dikompensasi.

H.    Sistem Pemungutan Pajak
1.      Official Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah:
a.       Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b.      Wajib Pajak bersifat pasif.
c.       Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus.
2.      Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah:
a.       Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib  pajak yang terutang,
b.      Fiskus tidak ikut campur tetapi hanya mengawasi.
3.      With Holding Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak)  untuk menentukan besarnya pajak terutang. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiskus dan Wajib  Pajak.

I.       Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1.      Ajaran formil, yaitu utang pajak timbul  karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System.
2.      Ajaran Materiil, yaitu utang pajak timbul karena berlakunya Undang Undang. Seseorang dikenai karena suatu keadaan atau suatu perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System.
Sedangkan hapusnya utang pajak dapat disebabkan  oleh beberapa hal antara lain:
(1)    Pembayaran (2) Kompensasi (3) Daluwarsa  (5 tahun) (4) Pembebasan dan penghapusan.

J.        Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak terdiri dari:
1.      Hambatan pasif yaitu masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, hal ini disebabkan oleh:
a.       Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b.      Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit difahami masyarakat.
c.       Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2.      Perlawanan aktif, yakni semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Perlawanan ini terdiri dari dua cara/bentuk yaitu:
a.       Tax Avoidance adalah usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang Undang.
b.      Tax Evasion adalah usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar Undang Undang (menggelapkan pajak).

K.     Jenis Pungutan di Indonesia
1.      Pajak Negara (Pajak Pusat)
Pajak Negara adalah pajak yang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pajak negara yang sampai saat ini masih berlaku adalah :
a.       Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah UU No. 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU no. 36 Tahun 2008.
b.      Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN & PPn BM)
Dasar hukum pengenaan pajak adalah UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.
c.       Bea Materai
Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah UU No. 13 Tahun 1985.
d.      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dasar hukum pengenaan BPHTB adalah UU. No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 20 Tahun 2000.

2.      Pajak Daerah
Adalah pungutan wajib atas orang pribadi atau badan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa kontraprestasi secara langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Salah satu pos penerimaan asli daerah (PAD) dalam APBD adalah pajak daerah. Pemungutan pajak daerah oleh pemerintahan daerah provinsi maupun kabupaten/kota diatur oleh UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ruang lingkup pajak daerah terbatas pada objek pajak yang belum dikenakan pajak pusat. Pajak daerah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a.       Pajak Provinsi, terdiri dari :
1)       Pajak Kendaraan Bermotor
2)       Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3)       Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4)       Pajak Air Permukaan
5)       Pajak Rokok
b.      Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari :
1)       Pajak Hotel
2)       Pajak Restoran
3)       Pajak Hiburan
4)       Pajak Reklame
5)       Pajak Penerangan Jalan
6)       Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7)       Pajak Parkir
8)       Pajak Air Tanah
9)       Pajak Sarang Burung Walet
10)  Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
11)  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah Kabupaten/kota. 
3.      Retribusi Daerah
Retribusi menurut UU no. 28 tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, Retribusi yang dapat di sebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).
a.       Objek Retribusi terdiri dari :
1)       Jasa umum
2)       Jasa usaha
3)       Perizinan tertentu
Hasil penerimaan jenis retribusi tertentu Daerah Kabupaten sebagian diperuntukkan kepada desa. Bagian desa ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Daerah Kabupaten dengan memperhatikan aspek keterlibatan Desa dalam penyediaan layanan tersebut.
b.      Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi
1)       Retribusi Jasa Umum, ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Yang dimaksud dengan biaya disini meliputi biaya operasi, dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
2)       Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
3)       Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.

c.       Tata Cara Pemungutan Retribusi
Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yyang dipersamakan berupa karcis, kupon, dan kartu langganan. Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga  sebesar 2% setiap bulan dari Retribusi terutang. Penagihan Retribusi terutang sebagaimana didahului denggan Surat Teguran. Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.


d.      Kadaluarsa Penagihan Retribusi
Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kadaluarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.

4.      Bea dan Cukai
a.       Bea adalah pungutan yang dikenakan atas ssuatu kejadian  atau perbuatan yang berupa lalu lintas barang dan perbuatan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bea dapat berupa :
1)     Bea Masuk, yang dipungut atas barang-barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean berdasarkan harga atau nilai barang tersebut ( tarif ad valorum) atau berdasarkan tarif yang sudah ditentukan.
2)     Bea Keluar, dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan ke luar daerah pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan barang.
3)     Bea Balik Nama dikenakan atas perbuatan pemindahan hak pemilikan  atas harta.
b.      Cukai, adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik yang ditetapkan Undang-Undang, yaitu barangg-barang yang dalam pemakaiannya antara lain perlu dibatasi dan diawasi

5.      Penerimaan Negara bukan Pajak
Adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Kelompok penerimaan negara bukan pajak :
a.       Penerimaan bersumber dari pengeluaran dana pemerintahn, antara lain penerimaan jasa giro, sisa anggaran pembangunan dan sisa anggaran rutin.
b.      Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain royalti di bidang perikanan, kehutanan dan pertambangan, tidak termasuk penerimaan yang merupakan bagian pemerintah dari minyak dan gas bumi.
c.       Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, antara lain deviden, bagian laba pemerintah, dana pembangunan semesta dan hasil penjualan saham pemerintah.
d.      Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah antara lain pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa, dan paspor, serta pengelolaan kekayaan negara yang tidak dipisahkan.
e.       Penerimaan berdasarkan keputusan pengadilan dan yang bersalah dari pengenaan denda administrasi, antara lain lelang barang rampasan negara dan denda.
f.        Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah, adalah penerimaan negara berupa bantuan hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah.
g.       Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.

L.      JENIS PAJAK
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
1.      Pajak Negara
2.      Pajak Daerah
Berdasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi:
1.      Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan.
2.      Pajak tidak langsung adalah pajak/pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya.
Berdasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi:
1.      Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroan terbatas/unit lain.
2.      Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan barang/jasa yang dikenakan kepada pembeli.
3.      Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya.
Pajak berdasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi:
1.      Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak/pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan daerah sendiri.
2.      Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan/badan usaha lain yang modalnya/bagiannya terbagi atas saham–saham.
3.      Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi/pajak gelap dan merupakan sumber korupsi.
4.      Pajak transit adalah pajak yang dipungut di tempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang/barang dari suatu tempat ke tempat lain



MATERI 2

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assesment. Sistem self assesment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Konsekuensi dari sistem self assesment, setiap wajib pajak yang memiliki penghasilan wajib mendaftarkan diri sendiri ke kantor pelayanan pajak.
Undang Undang No. 6 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 9 Tahun 1994 dan Undang Undang No. 16 Tahun 2000 serta yang terakhir sekarang Undang Undang No. 28 Tahun 2007 yang mulai diberlakukan 1 Januari 2009. Adapun beberapa pengertian yang harus diketahui dalam bidang perpajakan meliputi:
1.      Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.      Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang undangan perpajakan.
3.      Surat Pemberitahuan (SPT) Masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak.
4.      Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
5.      Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6.      Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Katetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
7.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
8.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
9.      Surat Katetapan Pajak Nihil (SKPN) surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama dengan besarnya kredit pajak atau pajak tidak terutang dn tidak ada kredit pajak.
10.  Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
11.  Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
12.  Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak kerena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak yang dikurangkan dari pajak yang teurtang.
13.  Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan mengembalikan pendhuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

A.       Pendaftaran NPWP dan NPPKP
1.        Kewajiban Pendaftaran
Dalam KUP dinyatakan bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan katentuan peraturan perundang undang undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Persyaratan  Subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek dalam Undang Undang Pajak Penghasilan tahun 1984 dan perubahannya. Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan  sesuai dengan ketentuan Undang Undang Pajak Penghasilan tahun 1984.
Setiap wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus kepadanya diberikan NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan dan sebagai tanda pengenal diri bagi wajib pajak didalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Adapun fungsi NPWP adalah:
a.              Sebagai tanda pengenal atau identitas Wajib Pajak dan sebagai sarana administrasi perpajakan sehingga Wajib Pajak hanya diberi satu NPWP.
b.             Sebagai sarana menjaga ketertiban dan pengawasan administrasi perpajakan sehingga Wajib Pajak mencantumkan NPWP pada setiap dokumen perpajakan.
NPWP terdiri dari 15 digit. 9 digit pertama merupakan kode wajib pajak dan 6 digit berikutnya merupakan kode administrasi. Formatnya adalah sebagai berikut: XX. XXX. XXX. X-XXX.XXX.
2.        Cara Memperoleh NPWP
Dewasa ini ada dua cara yang dapat ditempuh oleh wajib pajak jika ingin membuat atau memperoleh NPWP. Yang pertama adalah wajib pajak datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat dengan membawa berkas persyaratan yang dibutuhkan. Yang kedua yakni pembuatan NPWP secara online. Untuk mempermudah Wajib Pajak dalam membuat NPWP, Dirjen Pajak telah memperkenalkan cara pendaftaran NPWP melalui internet atau juga dikenal sebagai e-Registration (E-REG DJP) yang dapat di akses melalu situs Dirjen Pajak di alamat www.pajak.go.id atau klik  ereg.pajak.go.id/login untuk langsung mengakses halaman pendaftaran NPWP online di situs Dirjen Pajak.  

3.        Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari Tata Usaha Kantor Pelayanan Pajak. Direktorat Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk WP-OP atau 12 (dua belas) bulan untuk WP-Badan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Dengan penghapusan NPWP ini bukan berarti  menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Penghapusan NPWP ini dilakukan  oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a.         Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
b.        Wajib Pajak Badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha.
c.         Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia atau
d.        Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus NPWP dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.

Gambar 1
Formulir Penghapusan NPWP
sumber : Lampiran Peraturan Dirjen Pajak No. 20/PJ/2013

4.        Pendaftaran NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak)
a.         Pengertian
1)            Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
2)            Pengusaha kena pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang di kenai pajakberdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
3)            Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang di kenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahanya wajib melaporkn usahanya untuk dikukuhkan sebagai Usaha Kena Pajak
b.        Fungsi PPKP
1)       Sebagai identitas PKP yang bersangkutan
2)       Melaksanakan hak dan kewajiban di bidang pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
3)       Pengawasan administrasi perpajakan
c.         Pendaftaran NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya pada Kantor Direktorat Jenderal  Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Wajib Pajak melakukan pendaftaran  (NPWP) sekaligus Pengukuhan, maka surat keterangan terdaftar dan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) diterbitkan bersamaan paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah permohonan pendaftaran dan pelaporan beserta persyaratannya diterima secara lengkap.
d.        Pencabutan NPPKP
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pencabutan NPPKP tersebut dapat dilakukan jika:
1)           Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain.
2)           PKP tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk Pengusaha Kecil.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
.
B.       Surat Pemberitahuan (SPT)
1.        Pengertian SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.        Fungsi SPT
Fungsi SPT adalah sebagai alat untuk melaporkan pajak-pajak yang menjadi tanggungan Wajib Pajak baik yang sudah dipotong/dipungut pihak lain maupun yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Adapun hal-hal yang tercantum dalan SPT antara lain:
a.         Jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
b.        Jumlah pembayaran/pelunasan yang dibayar sendiri maupun melalui pihak lain (pemotong/pemungut)
c.         Jumlah pajak yang masih harus dibayar atas kekurangannya dan/atau jumlah pajak yang lebih dibayar.
3.        Prosedur Penyelesaian SPT
a.         Wajib Pajak sebagaimana mengambil sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh DJP.
b.        Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas, dalam Bahasa Indonesia.
c.         Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT, antara lain :
1)       Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan; laporan keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
2)       Untuk SPT-Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak
3)       Untuk Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan: Perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
4.        Pembetulan SPT
a.         Apabila SPT yang sudah dilaporkan ke KPP masih terdapat kekeliruan/ketidakbenaran maka SPT yang keliru (tidak benar) tersebut dapat dibetulkan dengan syarat sebagaimana dinyatakan pada pasal 8 berikut:
1)       Menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
2)       Pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
3)       Pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
4)       Pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggalpembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1(satu) bulan.
5)       Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
6)       Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a)        Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b)       Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c)        Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d)       Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
7)       Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
8)       Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
9)       Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar apabila:
a)            berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b)            Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c)             berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
d)            kewajiban melakukan pembukuan atau pencatatan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e)            kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
5.        Batas Waktu Penyampaian SPT
Dalam pasal 3 ayat (3) Undang Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa batas waktu penyampaian SPT diatur sebagai berikut:
a.         SPT-Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah  akhir Masa Pajak
b.        SPT-Tahunan PPh Wajib Pajak orang Pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak, atau
c.         SPT-Tahunan Wajib Pajak Badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
6.        Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT
a.       Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu peyampaian SPT Tahunan dengan cara menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
b.      Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke kantor Pelayanan Pajak, dengan dilampiri :
1)       Perhitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang.
2)       Laporan keuangan sementara, dan
3)       Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

C.        SANKSI PERPAJAKAN
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan.
Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu:
1.         Sanksi Administrasi
Merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya berupa bunga dan kenaikan.
2.         Sanksi Pidana
Merupakan siksaan atau penderitaan, suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi.